Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) (Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) dan Dr. Vito Damay, SpJP(K), MKes. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) pada acara diskusi bersama pakar kesehatan dan ekonomi di Gedung Adyatma, Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2020).
Sejak dilegalkan pada pertengahan tahun 2018 lalu, peredaran rokok elektronik di Indonesia semakin luas dan mudah dijangkau. Bahkan, ada kecenderungan bahwa rokok ini juga mulai merambah kalangan anak-anak.
Hal tersebut tidak terlepas dari harganya yang cukup terjangkau. Di samping itu, pola pikir masyarakat yang menganggap rokok elektronik lebih aman dibanding rokok konvensional pun menjadi alasan utama mengapa begitu mudahnya produk HPTL(hasil Produk Tembakau Lainnya) ini diterima masyarakat.
Padahal, menurut Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), DR. dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K), rokok konvensional dan elektronik sama-sama berbahaya dan mengandung nikotin yang dapat menimbulkan efek ketagihan atau adiksi.
Bila digunakan secara terus menerus, dampak jangka panjangnya justru dapat memicu timbulnya penyakit kardiovaskular, kanker paru-paru, dan penyakit berbahaya lainnya.
"Kedua produk ini juga mengandung karsinogen atau bahan-bahan yang menginduksi kanker melalui kegiatan merokok yang melalui saluran pernapasan dan paru. Kalau dipakai jangka panjang akan menimbulkan kanker," tegas dr. Agus Dwi Susanto, dalam acara diskusi bersama pakar kesehatan dan ekonomi di Gedung Adyatma, Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2020).
Agus menambahkan, kandungan karsinogen ini memang tidak langsung menimbulkan efek samping bagi para pemakainya. Dampak negatif baru akan dirasakan dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang.
Bahkan, rokok konvensional maupun elektronik diklaim dapat meningkatkan risiko kanker bila digunakan sejak dini, atau masih dalam masa anak-anak.
Tak hanya kanker dan penyakit jantung, dampak dari rokok elektronik dan konvensional ini juga dapat menyebabkan infeksi peradangan. Sebuah publikasi internasional telah membuktikan bahwa penggunaan rokok elektronik justru meningkatkan risiko penyakit asma.
"Di tempat saya praktik (Rumah Sakit Persahabatan) sekitar 70 persen pengguna rokok elektronik itu sudah adiksi dan ketagihan. Ini membuktikan bahwa kandungan nikotin kedua rokok tersebut sama-sama berbahaya," ungkap Agus.
Fakta selanjutnya dikutip dari hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang telah melakukan percobaan pada hewan. Mereka berhasil membuktikan bahwa rokok elektronik maupun konvensional ternyata juga merusak jaringan dan menjmbulkan penyakit paru.
"Jadi tidak ada alasan lagi untuk menggunakan rokok elektronik. Kalau mau berhenti merokok ya datang ke dokter spesialis paru, jangan pakai rokok elektronik," tandasnya. (Okezone)